AndiPamadengrukka menambahkan, buku ini bukan untuk membesar-besarkan sosok pahlawan nasional. Tujuan utamanya, agar generasi muda dapat mempelajari nilai-nilai kepahlawanan serta semangat perjuangan dari Bau Massepe yang mati di usia muda, 29 tahun. Kala itu, Bau Massepe melawan pasukan Hindia Belanda di bawah komando Westerling di Parepare. Lima sosok ini membuktikan bahwa guru benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa. Tanpa rasa takut dan ragu, mereka mengorbankan diri demi menuntaskan tugas mulia untuk mengajar. Siapa saja dan bagaimana kisah guru-guru inspiratif tersebut? Keep reading 🙂 1. Donor ginjal untuk siswa Seorang guru Sekolah Dasar Oakfield di Amerika Serikat bernama Jodi Schmidt rela mendonorkan ginjal untuk salah satu siswanya. Kejadian ini berawal ketika salah seorang siswanya yang bernama Natasha Fuller sudah berhari-hari tidak hadir di sekolah. Jodi pun mencari tahu kabar dari berbagai macam sumber. Ternyata, Natasha tengah berada dalam perawatan karena kondisinya menurun dan membutuhkan donor ginjal segera. Saat itu, gadis berusia 8 tahun ini dirawat di Children’s Hospital, Wisconsin. Sejak lahir Natasha telah didiognosis mengidap Prune Belly Syndrome. Sindrom ini membuatnya berisiko tinggi mengalami infeksi saluran kemih dan pengembangan otot perut. Selama ini memang Natasha wajib menjalani serangkaian pengobatan, yaitu tiga kali seminggu ke rumah sakit guna cuci darah. Nah, karena penyakit inilah akhirnya lama-kelamaan merusak ginjalnya. Jodi dan Natasha. Sumber Setelah mengetahui kabar tersebut, Jodi mempunyai rencana mulia untuk membantu Natasha. Usai berdiskusi terlebih dulu dengan suami dan keluarganya, ia membulatkan tekadnya. Ia memanggil nenek Natasha, Chris Burleton selaku wali dari Natasha untuk datang ke sekolah. Beberapa tahun belakangan gadis itu tinggal bersama kakek dan neneknya. Pada awalnya, Chris menyangka panggilan tersebut merupakan teguran dari pihak sekolah karena cucunya tak kunjung menampakkan diri. Namun, ia justru dikejutkan dengan sebuah hadiah yang sangat menggugah. Jodi memberikannya sebuah kotak berwarna merah jambu. Saat kotak tersebut dibuka, seketika Chris histeris dan menangis terharu. Di dalamnya, terdapat sebuah pesan yang menyatakan bahwa Jodi berniat untuk mendonorkan ginjalnya bagi Natasha. Sontak Chris memeluk Jodi sambil mengucap terima kasih tiada henti. 2. Mengajar dengan seutas tali Menjalani profesi sebagai guru butuh dedikasi dan kecintaan yang sangat tinggi. Hal ini dapat kamu lihat pada sosok guru dari dataran Cina yang bernama Zhu Youfang. Guru berusia 49 tahun ini mengajar Sekolah Dasar di provinsi Hubei, Cina. Selama tiga tahun ke belakang, ia menderita penyakit Spinocerebella Ataxia SCA. SCA ini penyakit langka yang membuat koordinasi tangan, bicara, serta gerak mata terganggu. Biasanya, disebabkan karena faktor genetik. Nah, ayah Zhu pun mengidap penyakit ini, smart buddies. Mengajar menggunakan alat bantu tali. Sumber Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, Zhu sering kali kesulitan untuk beraktivitas. Mulai dari mengangkat tangan, bangkit berdiri, serta memutar kepala untuk menghadap siswa-siswinya. Ketika mengajar, ia sering kali harus berhenti dan istirahat sejenak untuk memijat kepalanya yang pusing. Untuk membantu Zhu mengajar, sang suami yang bekerja di tempat sama mengikatkan seutas tali pada papan tulis yang digunakan Zhu. Zhu jadi lebih mampu menjaga keseimbangan berkat bantuan tali tersebut. Dari pihak sekolah sendiri pun sesungguhnya telah meminta Zhu agar lebih banyak beristirahat. Mereka berjanji akan tetap membayar Zhu dengan gaji penuh. Namun, Zhu tidak menerima penawaran tersebut karena tekadnya yang kuat untuk mengajar. Ia tetap datang dengan penuh semangat untuk berbagi ilmu di sekolah tempatnya mengajar selama 31 tahun belakangan. Para anak didiknya yang mengetahui penyakit langka yang diidap gurunya pun sering menjenguk dan mendoakan agar lekas sembuh. Well, perhatian dan kasih sayang dari para siswa inilah yang menjadi sumber kekuatannya. Tidak hanya itu, dukungan tidak pernah putus datang dari rekan sesama guru, keluarga, juga wali siswa. Selama kemampuan berbicaranya tidak hilang, Zhu akan terus memantapkan dirinya untuk menjadi pengajar yang berdedikasi tinggi. 3. Mengajar siswa meski terbaring lemah di rumah sakit Guru dan siswa tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Setiap guru pasti sangat menyayangi siswanya, bahkan sudah seperti buah hatinya sendiri. Guru selalu mengupayakan segala hal agar siswanya mendapatkan hal yang terbaik, meski sedang sakit keras sekalipun. Liu mengajar para siswanya di rumah sakit. Sumber Liu Shengping, seorang guru Seni dan Ilmu Sosial di Sichuan Normal University, Cina melakukan suatu hal yang menciptakan haru. Sejak bulan April, Liu didiagnosis menderita gagal hati akut dan sirosis hati yang membuat kondisi tubuhnya semakin hari semakin lemah. Meskipun ia telah menjalani perawatan di rumah sakit sepanjang dua bulan terakhir, tapi tidak kunjung membuat tubuhnya berangsur baik. Agar dapat perawatan yang lebih baik dan juga donor hati, tentu membutuhkan biaya besar. Namun apa daya, Liu hanya bisa bersabar dengan kondisinya karena tidak ada biaya perawatan. Oleh karena keadaan inilah, Liu meminta agar siswanya datang ke rumah sakit tempat ia dirawat untuk menyampaikan materi pelajaran bagi mereka untuk terakhir kalinya. Sekitar 20 siswa hadir dan terlihat menangis menyaksikan Liu. Dari tempatnya berbaring, ia menyampaikan banyak nasihat penting untuk siswanya. Sepanjang hampir 13 menit, Liu menekankan perihal pentingnya rasa syukur dan hidup damai untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Semua yang disampaikan bertujuan agar siswa lebih tegar dalam menghadapi setiap ujian hidup. Dengan demikian, hidup akan lebih nyaman berdampingan satu dengan yang lain. Sebagai penghargaan dan memberi semangat untuk melawan penyakitnya, para siswa menyanyikan sebuah lagu Cina berjudul A Grateful Heart. Lagu ini merupakan lagu sedih yang didedikasikan untuk orang yang paling penting dan berpengaruh dalam kehidupan seseorang. 4. Menyeberangi sungai berarus deras Dikarenakan rasa cintanya yang amat besar pada profesinya, Abdul Malik rela berenang menyeberangi sungai berarus deras setiap harinya. Menurut guru asal India ini, tidak ada satu pun yang mampu memisahkan ia dan para siswanya. Pria asal kota Malappuram ini sudah dua dekade lamanya nekad berenang di air yang mencapai setinggi lehernya. Abdul Malik menyeberangi sungai deras untuk mengajar. Sumber Hal ini dilakukan lantaran jarak antara tempat tinggalnya dengan sekolah lebih dekat ditempuh melalui sungai. Bisa-bisa saja ia menggunakan bus, namun jaraknya sekitar 12 kilometer dan butuh waktu 3 jam lamanya. Menurutnya, berenang melintasi sungai akan lebih cepat dan membuatnya tepat waktu sampai di sekolah. Saat berenang, ia mengganti baju kerjanya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Setibanya di seberang, barulah ia mengganti dan meneruskan perjalanan ke sekolah dengan berjalan kaki. 5. Mengajar tanpa lengan Terakhir, sosok guru inspiratif ini datang dari negeri tercinta, Indonesia. Pak Untung sudah 24 tahun lamanya mengabdi sebagai guru honorer di sebuah Madrasah Ibtidaiyah MI Miftahul Ulum di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Ia memiki keterbatasan fisik, yaitu tidak memiliki lengan. Namun hal ini tentu tidak kunjung membuatnya pesimis dalam menjalani profesi mulia tersebut. Pak Untung lihai menulis huruf Arab dengan kakinya. Sumber liputan6 Hal ini dibuktikan dengan opini dari para siswa yang mengaku sangat betah, senang, bahkan sayang dengan Pak Untung. Meskipun tanpa lengan, bukan berarti ia tidak bisa melakukan tugas-tugas yang dilakukan guru pada umumnya. Ia sangat profesional dalam mengajar. Menulis di papan tulis, memberikan nilai, dan sebagainya. Bahkan, jari-jari kakinya amat lihai dalam menulis huruf Arab lho, smart buddies. Ia pun tidak canggung mengoperasikan laptop. Akan tetapi, sungguh disayangkan profesionalitasnya sebagai guru belum mendapat penghargaan yang sepadan. Upahnya dalam sebulan pun hanya’ 300 ribu rupiah. Demi memenuhi biaya hidup sehari-hari Pak Untung beternak ayam dan juga mengajar pengajian dengan bayaran seikhlasnya. Kita doakan semoga Pak Untung sehat selalu dan diberi rezeki ya, smart buddies. Itulah tadi lima sosok guru yang mengorbankan dirinya sepenuh hati demi mencerdaskan dunia. Semoga bisa menjadi inspirasi kamu ke depannya. Apa kamu punya cerita inspiratif lainnya? Ceritakan di kolom komentar ya! TN

LahirnyaUndang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah yang didalamnya memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Guru yang dikenal sebagai sosok pahlawan tanpa

Asfar Tanjung Pengurus BAN S/M Sumbar Guru salah satu profesi sangat berharga dan luar biasa. Sesosok insan manusia yang sangat berperan besar mentrasfer ilmu kepada banyak orang, khususnya kepada anak didiknya. Tugas guru itu sangatlah mulia, karena gurulah seseorang bisa pandai membaca dan menulis, dan karena berkat jasa beliulah kita ini bisa berkembang seperti saat ini. Sangat pantaslah guru itu disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, karena kita yang hidup sukses meraih berbagai prestasi di dunia ini, berkat jasa guru. Namun, tanda jasanya tidak pernah disematkan kepada para guru. Inilah keberadaan sesosok guru yang berhasil bisa mencerdasakan anak bangsa. Tugas guru itu komplik dan minimal ada tujuh bentuk tugas mulia diembannya. Yakni, mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Ketujuh tugas ini melekat dalam sosok pribadi setiap guru, bicara dan tutur kata dan karakternya saja menjadi pembelajaran yang harus diikuti anak didiknya. Tugas sebagai pendidik diharapkan bisa mengarahkan atau membimbing para siswa pada jalan benar, bisa mengubah perilaku dan kepribadian anak didik ke arah yang benar, dan terhindar dari kesalahan dan kealfaan. Serta, menjadikan seorang punya kepribadian yang bisa ditiru dan diteladani. Inilah contoh dan suri teladan yang diberikan setiap sosok pribadi guru dalam mendidik anak bangsa. Dalam hal tugas guru sebagai pengajar, bisa mentransfer ilmu kepada anak didiknya untuk berkembang, dan di sinilah peran guru untuk berbagi ilmu yang dimilikinya. Hal ini luar biasa manfaat dan pengaruhnya bagi anak didik, serta orang menimba ilmu kepada guru. Dengan keikhlasan seorang guru, berbagai ilmu yang disebarkan bisa berkembang. Akhirnya, dinikmati hasilnya oleh banyak orang dan di sinilah peran guru sebagai pengajar. Guru sebagai sosok pengarah dan pelatih, tentu juga sangat diharapkan dalam dunia penidikan. Betapapun pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi di era yang dikenal industri ini, namun peran guru tetap sangat dominan. Dengan kepiawaian gurulah bisa mengarahkan dan memberikan pelatihan. Dengan cara itu, bisa memberikan contoh dan perumpamaan agar anak didik bisa paham dan memahami setiap perkembngan materi pendidikan yang diberikan. Untuk persoalan guru sebagai pengarah dan pelatih, sudah sangat dirasakan saat sekarang. Hampir dua tahun proses PBM tidak berjalan maksimal, hanya melalui sistem daring akibat pandemi Covid-19. Ternyata hasil yang dicapai peserta didik tidak maksimal, banyak yang menjerit untuk kembali ke sekolah belajar seperti biasa dan bertemu guru untuk saling interaktif. Sosok guru yang dirindukan para murid dan anak didiknya ternyata jadi kenyataan sangat diperlukan dan dibutuhkan kehadirannya di tengah-tengah murid. Itulah sebabnya, keberadaan sosok guru sangat dibutuhkan dan itulah jasa yang tidak pernah luntur, serta dikenang sampai kapan pun. Sosok guru sebagai penilai dan pengevaluasi bagian tugas mulia yang melekat dalam diri pribadi setiap guru. Tentu saja, sangat berperan untuk kejayaan ilmu yang telah ditransfer itu. Di mana, penilaian yang dilakukan seorang guru dan dibarengi dengan evaluasi, sangatlah besar pengaruhnya agar peserta didik tidak tersalahkan dalam mengemban ilmu yang didapatkan dari guru. Inilah hebatnya guru, mereka tidak ingin anak didiknya keliru dan salah memahami materi ilmu yang diberikan. Makanya, guru dibutuhkan untuk merefleksi dengan cara menilai dan mengevaluasi keberadaan ilmu yang diberikan, serta dikembangkan. Untuk itu, sosok setiap pribadi guru dengan tujuh tugas pokok yang melekat dalam dirinya, tidak hanya mengembangkan dan mengajarkan. Namun, mengevaluasi dan menilai ilmu yang dikembangkan itu termasuk menjadi pekerjaan setiap guru. Makanya, sangatlah pantas seseorang yang berprofesi sebagai guru disebut seorang “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, jasanya tidak terbilang dan sampai hari belum ada kita mendengar seorang guru disematkan tanda jasa sebagai pahlawan guru. Hari ini dan tanggal 25 November yang dikenal dengan Hari Guru bertemakan “Bergerak dengan hati pulihkan pendidikan”, tentu saja mengingatkan para guru dan memang itulah sosok guru. Bahwa, guru dalam menyumbangkan pikiran dan tenaganya dengan ikhlas, mengajar dan mengembangkan ilmu dengan hati. Kalaulah tidak dengan hati, tentu saja para anak didik yang menimba ilmu dari seorang guru tidak bisa mendapatkan dengan baik. Jadi, seorang guru yang mengajar dengan ikhlas, biasanya berdampak pada penerimaan seseorang peserta didik, atau orang belajar sama guru. Kalau tahun ini tema peringatan Hari Guru bergerak degan hati, pulihkan pendidikan, sangatlah tepat. Apalagi, saat pandemi suasana pendidikan dan proses pembelajaran tidak berjalan maksimal karena belajar dengan sistem baring. Seiring era new normal sekarang, tentu diharapkan keberadaan guru mengajar dengan sepenuh hati bisa memulihkan pendidikan. Jelas, peran seorang guru tidak pernah bisa digantikan dengan cara dan bentuk lain. Walaupun di masa pandemi sudah digantikan dengan sistem IT, memakai video, Zoom , Google Meet dan lainnya, ternyata hal itu tidak bisa memuaskan peserta didik, apalagi bagi kalangan peserta didik pemula dan orang tidak memiliki sarana untuk itu. Jelas, sangat menjadi halangan dan rintangan dalam memahami pembelajaran yang diberikan guru. Selamat Hari Guru, sosokmu tetap dibutuhkan dalam dunia pendidikan untuk mengembangkan ilmu kepada banyak orang, jasamu tak terbilang, dan tidak bisa digantikan walaupun era berganti. Sangatlah tepat moto dan tema Hari Guru “Bergerak dengan hati memulihkan pendidikan di saat pandemi.” Sekali lagi selamat Hari Guru. Semoga guru tetap jaya dan berkiprah membangun sumber daya manusia. Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa jasamu tidak terbilang, tapi tetap terkenang dan terkenal. Berkat jasamulah aku dan engkau dan kita semua jadi bisa begini. Selamat dan sukses para guru…*
Sebagairakyat Indonesia penting untuk memperingati Hari Pahlawan 10 Nov yang jatuh pd hari ini. Hari Pahlawan ini dimaknai sebagai bentuk penghormatan Bentuk penghormatan lainnya yang bisa kita lakukan adalah mengenalkan para tokoh pahlawan kepada generasi masa kini. Khususnya ketika menjadi orang tua kita mengajarkan kepada anak menghargai
Tak perlu diperdebatkan lagi, dua figur berikut ini adalah pelita pengubah bangsa. Menurut pandangan saya, pahlawan adalah orang yang membela tanah air dan berusaha membebaskan bangsa dari penjajahan. Dan guru adalah orang yang membagikan ilmu dan juga pengalaman pada kita. Sering kita dengar bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, guru memang pahlawan yang berusaha untuk membebaskan bangsa dari penjajahan yang bernama “kebodohan”. Jika kita mendengar kata “guru”, bayangan kita akan lari pada sesosok “Oemar Bakrie” yang dinyanyikan oleh penyanyi kawakan Iwan Fals yang mencoba mendeskripsikan guru. Guru sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya pembimbing. Dalam bahasa Jawa, guru adalah “digugu lan ditiru”, artinya didengarkan dan dicontoh. Guru merupakan panutan bagi anak didiknya atau bahkan lingkungan sekitarnya. Menurut wikipedia, guru adalah seorang pengajar suatu ilmu, dan dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk kepada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan melatih anak didik. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Guru pertama kita adalah orangtua, dan guru, baik formal maupun informal, adalah representasi dari orangtua. Daoed Yoesoef 1980 menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika. WF Connell 1972 membedakan tujuh peran seorang guru yaitu 1 pendidik nurturer, 2 model, 3 pengajar dan pembimbing, 4 pelajar learner, 5 komunikator terhadap masyarakat setempat, 6 pekerja administrasi, serta 7 kesetiaan terhadap lembaga. Guru merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan, dan merupakan unsur terpenting dan terdepan dalam penentuan hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran. Guru berhubungan langsung dengan masa depan sebuah bangsa. Namun juga guru harus mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang masih mengandalkan sisi akademik, namun dari sisi moral kurang tersentuh. Guru memiliki sifat-sifat dari seorang pahlawan, namun ada beberapa oknum tertentu yang kurang bisa menyesuaikan diri dengan sifat pahlawan tersebut, sehingga dalam melakukan pengabdian hanya setengah hati. Namun itu juga tidak bisa disalahkan, karena sangat manusiawi jika guru mempunyai kebutuhan hidup. Akan tetapi masih ada sosok pahlawan dalam hati sanubari guru yang dengan bermodalkan dedikasi dan semangat yang luar biasa mendidik dan mengajar siswa dengan gaji yang minim demi kemajuan bangsa. Mereka tidak mengharapkan gelar. Biarlah Ibu Pertiwi sebagai saksi bisu dan jasa mereka akan selalu terkenang dalam sanubari anak didiknya. Guru hendaknya tidak hanya mengajar sekaligus pembelajar, Guru adalah pekerja sosial yang bertugas mencerdaskan anak didiknya bukan mengutamakan komersil belaka. Pahlawan jaman dulu berjuang melawan kemerdekaan saat ini Indonesia sudah merdeka sebagai generasi penerus bangsa kita tinggal meneruskan cita-cita pahlawan melalui pendidikan. Guru sebagai pejuang pendidikan, mereka berjuang melawan korupsi dan kolusi melalui tindakan, pengajaran, inovasi. Metode pengajaran yang hanya satu arah, diubah dengan metode dua arah, dimana terjadi interaksi antara guru dan murid. Dan tidak hanya mementingkan nilai akademik saja, namun juga pendidikan moral bermasyarakat. Mari kita tengok sejenak perjalanan hidup dari salah satu pahlawan pendidikan yang napak tilasnya terekam hingga diabadikan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, “Tut Wuri Handayani”, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional. Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS Sekolah Dasar Eropa/Belanda. Kemudian sempat melanjut ke STOVIA Sekolah Dokter Bumiputera, tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat anti kolonial. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Jawa pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya. Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda. Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”. Namun kolom yang paling terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” judul asli “Als ik eens Nederlander was”, dimuat dalam surat kabar De Expres tahun 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”. Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka atas permintaan sendiri. Namun demikian kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda 1913. Ketiga tokoh ini dikenal sebagai “Tiga Serangkai”. Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun. Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging Perhimpunan Hindia. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri. Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922 Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang berarti di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung. Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia. Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan doctor honoris causa, dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959. Betapa mulia dan besar jasa seorang guru dalam menyumbang kemajuan suatu bangsa. Guru disanjung dan dipuja begitu luar biasa karena diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam kehausan, dan sebagai patriot pahlawan bangsa. Namun apakah cukup hanya berhenti pada sekadar sanjungan dan pujian ? Di zaman yang semakin susah ini, orang tidak akan mampu hidup hanya dengan sanjungan dan pujian. Gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” tidak mampu memberi hidup yang layak bagi mereka, bahkan justru membebani. Di zaman ini yang dibutuhkan bukan sekadar sanjungan atau pujian atau gelar, lebih pada perhatian dan penghargaan atas suatu pengabdian yang begitu luar biasa. Jika bukan bangsa ini yang memberi apresiasi atau penghargaan yang selayaknya pada guru, lalu siapa lagi ? Ataukah kita harus berharap pada bangsa lain? Bukankah sejarah membuktikan bahwa kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada bangsa lain ? Sungguh ironis, guru yang merupakan profesi yang amat mulia hanya dianugerahi gelar tanpa tanda jasa, Padahal gurulah yang mengantarkan manusia-manusia Indonesia menuju kepada keberhasilannya. Ibaratnya pengorbanan dan jerih payah para guru tidak dapat tergantikan, bahkan dengan penghargaan sekali pun. Suhartono Guru dalam Tinta Emas, 2006ix} menjelaskan bahwa kita bisa membaca dan menulis, guru yang mengajarkan. Kita dapat menduduki jabatan tertentu, guru jugalah yang menghantarkannya. Kita bisa berkreasi atau berwirausaha, ya tetap gurulah yang mempunyai andil besar. Tanpa guru kita tidak dapat seperti sekarang ini. Begitu besar peran seorang guru dalam kehidupan kita. Namun, ketika kita sudah berhasil meraih impian, kita cenderung melupakan jasa-jasa guru. Ketika murid-muridnya telah berhasil menjadi presiden, gubernur, pengusaha, atau apa pun, guru tetaptah guru dengan gaji yang pas-pasan. Yang berubah dari guru hanyalah usianya yang semakin menua. Kata-kata “pahlawan tanpa tanda jasa” diterjemahkan sebagai pengabdian yang tanpa pamrih. Sehingga tidak. mendapat penghargaan atau pun gaji yang layak tidak melawan atau memberontak. Dengan diberi gelar pahlawan dibaca orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani, bukankah kata pahlawan mengandung makna yang luar biasa sehingga mampu menyihir ribuan guru di negeri ini? Sungguh, kata-kata tersebut seperti senjata makan tuan. Nasib guru dari dulu sampai saat mi sepertinya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan Iwan Fals dalam salah satu lagunya yang berjudul Oemar Bakrie” mengisahkan tentang nasib guru yang memilukan. Dalam lagu tersebut digambarkan sesosok guru yang bernama Oemar Baknie, yang mengabdikan seluruh hidupnya dengan penuh dedikasi sampai usia tua. Meskipun gajinya yang kecil sering “disunat” sehingga semaikin kecil, namun Oemar Bakrie tetap semangat mengajar murid-muridnya. Saat munid-muridnya telah “jadi orang”, sosok guru Oemar Bakrie tetap saja sederhana kalau tidak boleh dikatakan miskin, dan nasibnya pun tak kunjung membaik. Di zaman yang serba komputer, serba instan, dan serba modern mi, nasib guru masih tidak jauh berbeda dengan Oemar Bakrie dalam gambaran Iwan Fals. Seharusnya kesejahteraan guru, baik PNS maupun non-PNS menjadi prioritas perhatian pemerintah. Terlebih para guru yang mengajar di SD dan SMP. Karena, para guru SD dan SMP merupakan bagian dari program wajib belajar. Dalam pelaksanaannya program wajib belajar ini pun melibatkan peran guru non-PNS,. OIeh karena itu, sudah seharusnya jika pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka, Sertifikasi yang saat ini tengah hangat diperbincangkan di kalangan para guru dan dunia pendidikan pada umumnya menjadi secercah harapan bagi para guru. Meskipun pada kenyataannya proses sertifikasi itu sendiri menjadi begitu rumit karena banyak sekali komponen atau syarat-syarat yang harus dipenuhi. Namun demikian bila seorang guru dinyatakan lulus uji sertifikasi, maka guru tersebut berhak atas tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Hal tersebut berlaku untuk guru negeri maupun swasta. Tunjangan bagi para guru yang lulus sertiflkasi tersebut akan diperoleh dari pemerintah. Kita semua harus menyadari bahwa ujung tombak pendidikan nasional adalah guru. Bila ujung tombak tersebut tidak mendapat perhatian sebaik-baiknya, maka tidak mungkin negeri ini akan semakin terpuruk. Keceriaan para guru menjadi keceriaan bangsa ini. Sebenarnya siapa saja yang bisa disebut sebagai pahlawan pendidikan itu ? Teringat akan beberapa sosok pahlawan nasional yang bergerak di bidang pendidikan dengan tujuan mulia yakni mencerdasakan anak bangsa. Sebut saja Ki Hajar Dewantara yang merupakan salah satu pelopor pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa dan banyak mengangkat anak-anak bangsa khususnya yang dari kalangan pribumi. Sedangkan RA Kartini, atau Dewi Sartika juga srikandi di dunia pendidikan dengan mengangkat harkat dan martabat kaumnya meskipun menghadapi kendala yakni nilai-nilai yang berlaku di masa mereka yang sangat menentang hal tersebut. Apakah semua guru itu adalah pahlawan pendidikan? Tidak semua orang yang berprofesi sebagai guru itu benar-benar orang yang mendedikasikan diri untuk memajukan pendidikan bagi sekitarnya. Ada segelintir yang menjadikan profesi pendidik dalam kata lain guru sebagai pelarian sementara sebelum menemukan pekerjaan yang diidam-idamkannya. Jadi pendek kata bukan itu panggilan jiwanya, dan pastinya salah satu andilnya adalah kesejahteraan. Menyoal kesejahteraan guru, memang hal ini menjadi masalah utama yang harus dihadapi. Di satu sisi guru di beberapa bagian negeri sudah menikmati berbagai fasilitas yang memadai seperti tunjangan, sertifikasi dan lainnya, sementara banyak guru lain yang harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga ada yang setelah mengajar menjadi juru parkir, pemulung atau mengajar privat dari pintu ke pintu karena penghasilannya yang tidak memadai. Dari sini kadang kesejahteraan berpengaruh pada kinerja serta kemaksimalan seorang pendidik dalam menghidupkan lentera ilmu dalam diri anak-anak didiknya, terlebih jika guru tersebut mengabdi di tempat-tempat terpencil yang jauh dari fasilitas perkotaan yang memadai dan dengan sarana prasarana ala kadarnya. Barangkali bila sang pendidik itu tidak mempunyai gairah kuat dalam dirinya sebagai lentera bagi masyarakatnya, bisa jadi dia akan pergi dan meninggalkan tempat mengajarnya dalam kegelapan. Namun bersyukur masih banyak orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai pendidik di tempat-tempat yang jauh seperti di pedalaman, mereka melakukan segalanya melalui kendala dan keterbatasannya dengan satu misi, yakni mencerdaskan serta memberi sinar terang bagi daerah yang ditempatinya. Program Indonesia Mengajar, dimana programnya menempatkan muda-mudi terpilih untuk mengajar di berbagai wilayah di seluruh Indonesia, juga menjadi salah satu program untuk mencerdaskan anak-anak bangsa utamanya di kawasan terpencil. Para pengajar muda ini ditempatkan di berbagai sekolah diseluruh Indonesia untuk mengajar selama satu tahun, dan diutamakan kawasan yang sulit dijangkau fasilitas perkotaan, dan tentunya hanya dipilih yang benar-benar punya integritas tinggi tanpa pamrih untuk mengabdi pada daerah yang jadi pilihan. Walaupun mungkin masih belum seperti para guru yang rela menempuh jarak berkilo-kilo demi mencapai sekolahnya dengan rasa rela dan ridha untuk berbagi. Profesi pendidik sekali lagi merupakan profesi yang sangat mulia, karena dari pendidiklah semua profesi dicetak. Mau jadi ekonom, agamawan, ilmuwan, astronom dan lain-lainnya semua itu takkan ada bila tidak ada yang mendidiknya dan itu merupakan proses getok tular yang terus menerus dan takkan berhenti. Saya sadar kalau tidak semua pendidik itu bisa disebut sebagai pahlawan pendidikan. Karena seperti yang telah saya tulis sebelumnya, tidak semua orang yang jadi pendidik itu benar-benar berjiwa pendidik, siap mendidik dan juga dididik. Sementara gelar pahlawan pendidikan itu bukanlah penggelaran dari diri pendidik itu sendiri, melainkan diberikan oleh orang sekitarnya, yang merasakan kiprah sosok ini dalam memajukan daerahnya. Bukan sekedar mendidik, tapi juga memberi kontribusi sekecil apapun itu bagi dunia pendidikan. Meskipun mungkin dia bukanlah seperti Ki Hadjar Dewantara, RA Kartini atau bahkan selevel Dewi Sartika, masyarakat yang memberi penilaian. Semoga para guru diseluruh Indonesia dan dimanapun mereka berada bisa lebih meneladani sosok pahlawan pendidikan yang telah memberi warna bagi kemajuan pendidikan di negeri yang masih berkutat dengan segala permasalahan yang ada saat ini. Pemerintah Indonesia seharusnya meningkatkan pendidikan di seluruh daerah di Indonesia. Peningkatan harus dilakukan merata dan tidak condong ke beberapa daerah saja. Sayangnya, masih banyak daerah di Indonesia yang dianak-tirikan oleh pemerintahan di pusat. Mereka merasa tidak mendapat perhatian yang layak, dan itu terlihat jelas dari pendidikan di daerah mereka yang masih jauh ketinggalan. Salah satu daerah yang mengeluh tersebut adalah Papua. Kemakmuran seakan-akan jauh dari Bumi Cendrawasih. Kemiskinan berada di setiap penjuru desa. Fasilitas kesehatan masih sangat minim didapat di sana. Sarana prasarana umum tidak diperhatikan dengan baik oleh pemerintah. Pendidikan yang tidak merata pun semakin melengkapi penderitaan masyarakat. Rakyat Papua sulit untuk melangkah maju membangun daerahnya karena rendahnya tingkat pendidikan. Kemerdekaan sepertinya masih menjadi mimpi bagi banyak orang disana. Mereka masih merasa hanya sebagai penumpang di tanah sendiri. Beruntung, Papua masih memiliki beberapa orang pahlawan pendidikan yang berusaha untuk membangkitkan Sang Mutiara Hitam dari tidurnya. Beberapa mereka seperti Johannes Surya dan Daniel Alexander. Ketimbang memilih kenikmatan pelayanan di perkotaan, mereka lebih memilih untuk melangkahkan kaki mereka di jalanan rusak desa-desa di Papua. Tanpa memandang suku, ras, dan agama, mereka berusaha meningkatkan taraf kehidupan di daerah Papua. Dan menurut mereka, salah satu aspek kunci dari kemajuan Papua adalah kecerdasan dari rakyatnya. Oleh karena itu, kedua orang ini berfokus mengembangkan pendidikan di daerah tersebut. Ketidakadilan masih bersembunyi di banyak pelosok daerah. Kemiskinan selalu menjadi momok yang harus dihadapi rakyat. Pendidikan terus menjadi mimpi yang sulit diraih oleh banyak anak-anak Indonesia. Papua dan daerah-daerah tertinggal lainnya masih membutuhkan para pahlawan pendidikan lainnya yang mau menjejakkan kakinya di tanah berlumpur pedesaan; berani meninggalkan kemapanan demi kemajuan daerah-daerah tertinggal. Sebutan pahlawan biasanya hanya diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada orang lain. Seseorang yang berjuang, bahkan juga berkorban hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, sekalipun sukses, mereka tidak akan pernah disebut sebagai pahlawan. Tidak pernah ada pahlawan untuk dirinya sendiri. Pahlawan selalu dikaitkan dengan jasa yang diberikan kepada orang lain. Ada berbagai jenis atau tingkat kepehlawanan. Orang-orang yang berjuang dan berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya, maka mereka itu disebut sebagai pahlawan bangsa. Bagi mereka yang berjasa hingga diakui oleh kalangan luas dan bahkan oleh pemerintah, maka tatkala meninggal dimakamkan pada tempat tersendiri, yang kemudian tempat itu disebut sebagai taman makam pahlawan. Cara tersebut dilakukan adalah sebagai tanda penghormatan kepada yang bersangkutan, dan sekaligus juga agar menjadi tauladan bagi berbagai generasi setelahnya. Prestasi, keberhasilan, kebesaran terkait dengan apa saja, selalu diperoleh dari perjuangan yang tidak sederhana. Perjuangan itu bahkan juga memerlukan pengorbanan. Tidak pernah ada keberhasilan yang diperoleh secara gratis atau tanpa usaha. Bangsa Indonesia menjadi merdeka seperti sekarang ini adalah merupakan buah dari perjuangan dan pengorbanan para pahlawannya. Mereka itu telah mengorbankan apa saja yang dimiliki untuk meraih kemerdekaan, baik pengorbanan itu berupa harta, tenaga, dan bahkan jiwanya. Ribuan orang mati, atau cacat tubuh, oleh karena berjuang merebut kemerdekaan. Namun pahlawan tidak selalu diartikan dalam lingkup besar sebagaimana dicontohkan di muka. Tetapi benar, bahwa sebutan pahlawan selalu dikaitkan dengan perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan itu bisa dilakukan di dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang pendidikan, ekonomi, kebudayaan, seni, agama, dan lain-lain. Para perjuang masing di-masing bidang dimaksud telah melahirkan berbagai jenis pahlawannya. Oleh karena itu muncul sebutan pahlawan pendidikan, pahlawan gerakan sosial, budaya, politik, dan lain-lain. Ada juga sebutan pahlawan dalam pengertian terbatas, misalnya dalam lingkup keluarga. Seorang ibu dan ayah adalah menjadi pahlawan bagi para anak-anak dan cucunya. Mereka itu telah berjuang dan berkorban untuk mengantarkan mereka meraih keberhasilan hidup. Itulah sebabnya, sering kita mendengar ucapan seseorang dengan mengatakan bahwa, ibu atau ayahnya sendiri adalah pahlawannya. Penyebutan itu tentu dimaskudkan untuk memberikan penghargaan, bentuk rasa terima kasih, dan rasa syukur yang mendalam atas jasa yang telah diterimanya. Betapa pentingnya dalam hidup ini agar seseorang berbuat dan bekerja, bukan saja untuk dirinya sendiri, tetapi seharusnya juga untuk orang lain, maka hingga ukuran terbaik bagi seseorang ternyata dilihat dari seberapa besar yang bersangkutan mampu memberi manfaat bagi orang lain. Selanjutnya, supaya bisa memberi manfaat, maka siapapun harus berjuang dan sekaligus berkorban. Hidup, jangan sampai hanya menjadi orang yang diperjuangkan, tetapi sebaliknya, ialah harus menjadi pejuang. Disebutkan bahwa, tangan di atas adalah lebih baik daripada tangan di bawah. Maka agar pesan dimaksud bisa ditunaikan, maka sebagai manusia seharusnya lebih berkualitas, baik dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, sosial, dan lain-lain. Perjuangan itu manakala dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, maka pelakunya akan tercatat sebagai pahlawan, yaitu posisi yang sangat ideal dalam kehidupan ini. [
Pahlawanjaman dulu berjuang melawan kemerdekaan saat ini Indonesia sudah merdeka sebagai generasi penerus bangsa kita tinggal meneruskan cita-cita pahlawan melalui pendidikan. Guru sebagai pejuang pendidikan, mereka berjuang melawan korupsi dan kolusi melalui tindakan, pengajaran, inovasi. Metode pengajaran yang hanya satu arah, diubah dengan Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. guru adalah pengajar dan sosok penting dalam pendidikan yang memberi pengetahuan sekaligus sebagai guru pendidik dan pengajar yang memberikan pengetahuan serta kedisiplinan dan kesopanan terhadap murid-muridnya. semua yang di lakukan guru hanya untuk mendidik muridnya dan untuk kepentingan murid - muridnya itu sendiri. betapa muliahnya profesi seorang guruprofesi guru sangat mulia, guru bukanlah pekerjaan tapi guru adalah profesi yang sangat mulia. yang di mana profesi tersebut sangat penting bagi pendidikan dan kedudukanya sabgat mulia, tugas guru adalah mentranfer ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada murid-muridnya bukan hanya itu tugas dan kewajiban guru adalah membagikan ilmu dan pengalaman - pengalaman berharga penanaman nilai, kedisiplinan, kesopanan, moral dan keagamaan juga sebagai ilmu yang sangat penting untuk saat ini dan memotivasi murid-muridnya agar menjadi murid yang pintar. guru sebagai pahlawan di dalam pendidikan yang di sebut pahlawan tanpa tanda jasa. pahlawan yang memperjuangkan pendidikan untuk murid-muridnya. hingga guru dijadikan sebagai lagu untuk menjunjung tinggi martabat guru yang agar kita lebih mengerti betapa muliahnya kedudukan guru. apresiasi terhadap guru adalah pembuatan lagu yang berjudul HYMNE GURU yang di ciptakan oleh bapak sartono yang lagu kini di jadikan sebagai lagi wajibyang selalu dinyanyikan di sekolah. Guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa, kira-kira sejak zaman penjajahan Belanda, karena para guru mau mengajar, bahkan sampai ke pedalaman tanpa mengutamakan uang, melainkan demi memajukan pendidikan bangsa dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Mengajar tanpa mengharap balasan. Tetapi hanya ingin melihat muridnya bisa berkembang dan maju membangun bangsa. Lihat Sosbud Selengkapnya 11.a.7. Demonstrasi Konstektual Pemikiran Filosofos Ki Hajar Dewantara Assalamualaikum waroh matullohi wabaro katuh. Salam dan bahagia. Salam dan bahagia adalah sebuah kata yang sering diucapkan di perguruan Taman Siswa saat menyambut kedatangan tamu atau siswanya. Salam dan Bahagia mempunyai makna yang sangat berarti bagi saya Tentudukungan semua elemen sangat kita butuhkan," katanya. Ini bicara soal peranan Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan sebelumnya, disamping itu usulan pahlawan ini juga untuk meluruskan sejarah, maka menurut kami ini sangat penting dan layak diusulkan menjadi pahlawan nasional sosok Hamid Azwar ini, kata Syeh Joel. Pewarta: Khalis DitetapkanLewat FGD. Gubernur BI Agus DW Martowardojo menyebut, pemilihan sosok pahlawan nasional melewati proses yang cukup panjang. “BI melakukan pembahasan, focus group discussion (FGD), baik dengan sejarawan, akademisi, Pemda (Pemerintah Daerah), Menkeu (Menteri Keuangan), dan Mensos (Menteri Sosial),” kata Agus di Jakarta, Senin .
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/245
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/341
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/375
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/327
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/319
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/100
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/23
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/278
  • 7ee7z7t4xx.pages.dev/216
  • artikel tentang guru sebagai sosok pahlawan